Ruli, Kapan Kau Kembali? -------------------------------------------------------------------------------- Oleh: K. Usman -------------------------------------------------------------------------------- Catcher Kubuka kembali surat-surat balasan dari Ruli, ketika kami masih kelas satu SMU, sampai kelas dua. Kutemukan kelembutannya. -------------------------------------------------------------------------------- Sampai dengan bulan Maret, sudah tiga bulan aku kehilangan Ruli. Tidak seperti biasanya, dia meninggalkan pesan padaku bila akan pergi lama, tiba-tiba saja gadis tomboi yang keras hati itu pergi entah ke mana. Orang tuanya pun kehilangan jejak si anak tunggal mereka, dan panik luar biasa, sampai sekarang. "Ruli tuh ngambek, tahu!" kata Puja, salah seorang sahabat dekat Ruli, sehari setelah Ruli meninggalkan rumah. "Anak yang keras hati biasanya suka ngambek," komentar Masya. "Tapi, Ruli bukan anak kecil lagi," kataku. "Jauh sebelum lulus SMU, Ruli sudah menunjukkan kematangannya selaku seorang gadis," lanjutku. "Aku yakin sekali, Ruli bukan sejenis gadis-gadis cengeng, yang menangis, meratap, melamun, diam berminggu-minggu bila mengalami cobaan. Ruli itu tegar!" belaku. "Kau membelanya karena mencintainya!" tukas Puja. "Obyektif, Bung! Ruli itu mandiri. Di rumah, dia memasak sendiri. Jarang dia mau makan masakan pembantu rumah tangga. Pakaiannya dalam mesin cuci, dikeringkannya, dan diseterikanya sendiri, sejak lulus SMU. Mendaftar ke perguruan tinggi, di kota mana pun, dia pergi sendiri. Dia tidak merepotkan ayah-ibunya yang selalu repot itu," aku menegaskan perihal kemandirian Ruli. Sehari sebelum Ruli menghilang dari orang-orang dekatnya, sempat ia mengajakku makan siomai Bandung di kantin sekolah. Memang banyak kenangan kami di kantin itu. Kalau tidak salah, hari Jumat, pertemuanku terakhir dengannya. "Ayo! Makan sekenyangmu siang ini! Siomai Bandung, boleh. Pempek Palembang, mangga. Soto ayam, silakan!" tantangnya. "Kau yang nraktir aku?" tanyaku sambil menatap wajahnya, yang selalu riang. "Ya, dong! Lihat ini!" Ruli membuka halaman majalah di tangannya. "Karanganmu dimuat, ya? Selamat dulu, ah!" kataku sambil menarik tangan kanannya. Kucium tangan kanannya, seperti biasa bila aku mengucapkan selamat atas prestasinya. Kuamati majalah yang memuat cerpen Ruli. Sebuah majalah sastra memuat hasil karya seorang lulusan sekolah menengah. Sungguh suatu prestasi! Banyak sekali pengarang yang sudah tenar mengidamkan karya mereka dimuat di majalah sastra, untuk meninggikan prestise. "Ini bukan karya pertamaku yang dimuat majalah sastra," cerita Ruli. "Waktu masih kelas dua SMU, puisiku dimuat bersama riwayat hidup singkat dan fotoku," sambung Ruli bangga. "Senang dong Om Pangaribuan dan Tante Mince." "Sama sekali tidak!" ujar Ruli. "Sungguh, sama sekali tidak bangga," serius jawaban Ruli. "Aneh sekali!" "Tidak aneh!" "Mengapa?" Ruli mengatakan, Om Pangaribuan dan Tante Mince, orang tuanya, tidak mengerti seni sastra. Kata mereka, membaca puisi, cerpen, novel, dan nonton drama adalah membuang-buang waktu. Itu pekerjaan para pelamun, pemimpi, pemikir, calon-calon orang miskin. Mereka tantang Ruli: Tunjukkan mana ada sastrawan Indonesia yang kaya? Contohnya, penyair Chairil Anwar mati muda karena penyakitan. Memang ada sastrawan Indonesia yang hidup layak karena bekerja di pers sebagai wartawan. Atau, mereka dapat warisan dari orang tua, dan mertua. Dengan kata lain, Om Pangaribuan dan Tante Mince, dua pengacara kondang di Indonesia, tidak yakin Ruli bisa hidup layak bila memilih profesi sebagai pengarang fiksi. Kata Om Pangaribuan, orang Indonesia bukan manusia pembaca fiksi. Orang Indonesia itu sukanya belanja rumah bagus, mobil mewah, pakaian mahal, perhiasan, perabot rumah tangga, dan barang-barang antik untuk gengsi di rumah. Itulah sebabnya, majalah sastra, buku puisi, cerpen, dan novel numpuk di gudang, tidak laku! Ruli memilih profesi yang salah, yang akan membuatnya sengsara. Dari cerita itu, aku dapat menyimpulkan, antara Ruli dan orang tuanya ada perbedaan pandangan hidup. Bagi orang tua Ruli, sebaiknya Ruli tidak menjadikan pengarang sebagai profesi, cukup sebagai hobi. Profesi yang mendatangkan uang banyak, kata mereka, adalah menjadi manajer perusahaan, bankir, pengacara, atau pengusaha. Indonesia sedang menjadikan ekonomi sebagai raja, sekarang! Begitu pendapat Om Pangaribuan dan Tante Mince. Keduanya memang pakar hukum, bergelar doktor dalam ilmu hukum. "Aku tidak tergiur untuk menjadi orang kaya materi, tapi kering rohani," kata Ruli setelah diam seketika. Dia dorong piring siomai kosong ke tengah meja. "Kuharap, pertentangan antara kau dan orang tuamu tidak tajam, Rul," bujukku. "Mengertilah, Komang, aku ini adalah produk pembantu rumah tangga. Aku ini adalah produk baby sitter, tahu! Hanya berapa jam dalam sehari semalam, Papa dan Mama memberikan cinta dan kasih sayang pada si tunggal Ruli ini?" Ruli menunjuk dadanya yang gepeng. Payudaranya memang kecil. "Tapi waktu yang sedikit bagimu itu berkualitas!" bantahku. "Begitu kan kata orang tua yang sibuk meningkatkan karier di luar rumah?" "Kualitas? Hanya hari Sabtu dan Minggu! Berapa hari Sabtu dan Minggu dalam sebulan, heh? Tidak sebanding dengan Senin sampai dengan Jumat, bukan? Jadi, orang tuaku memang telah menciptakan jarak, bahkan jurang, antara aku dan mereka. Eh, lagi-lagi di rumah mau seperti raja, main perintah pada anak agar masuk fakultas ekonomi, fakultas hukum, yang lagi ngetren. Tentu saja aku berontak, Komang. Sorry, Dear, aku ngomong kasar. Terpaksa. Kau kan tahu, aku ini adalah manusis terbuka, suka blak-blakan. Aku ini adalah singa betina, seperti kau menggelariku, sejak sebulan kenal denganku. Ya, itulah Ruli, apa adanya." *** Ketika suatu hari ke kantin sekolah, sendirian, aku duduk di kursi, yang kududuki di hari terakhir bersama Ruli, dulu. Serasa kudengar suara Ruli yang besar, lantang, dan jernih. Rasa rindu padanya membuatku terenyuh. Si pemberontak itu memang keras hati. Tapi, dia selalu jujur pada kata hatinya, dan sikap begitu mahal di masa sekarang. Sekarang, orang lebih suka berbasa-basi untuk menyenangkan orang lain, walaupun basa-basi itu suatu kebohongan fatal! Pagi ini, dari jendela kamar, kupandangi merahnya bunga randu di ranting-ranting. Batang randu itu di seberang jalan, di sebelah barat rumahku. Aku ingat pada Ruli. Ingat pula pada puisinya berjudul Saat Randu Berbunga. Romantis puisi itu. Siapa menyangka, si pemberontak dapat menciptakan puisi lembut semacam itu. Kubuka kembali surat-surat balasan dari Ruli, ketika kami masih kelas satu SMU, sampai kelas dua. Kutemukan kelembutannya. Kalimat-kalimatnya liris-puitis. Dasar kutu buku, si Ruli satu itu. Pada umur empat tahun, dia sudah bisa membaca buku. Luar biasa. Tidak masuk akal! Begitu orang awam akan menyangkal. Orang tuanya, yang dekat denganku, juga Bik Biyah, bercerita padaku tentang kebenaran kisah si balita empat tahun sudah bisa membaca buku cerita bergambar. Ruli sebenarnya beruntung, punya orang tua pintar, terkenal, dan kaya. Di kamar Ruli yang besar terdapat dua lemari buku yang penuh aneka macam buku. Itu perpustakaan pribadi si anak tunggal. Saat kelas tiga SD, Ruli sudah membaca buku Pulanglah Dia Si Anak Hilang karya pengarang besar Prancis, Andre Gide. Buku mungil itu diterjemahkan oleh Chairil Anwar ke bahasa Indonesia. Soal bacaan, aku merasa kalah dibanding Ruli. Orang tuaku tidak punya dana untuk membelikan aku buku-buku yang akan mengenyangkan rohaniku. Beruntunglah, aku punya Ruli, si pemberontak yang berhati lembut, dan pemaaf. Telepon di ruang tengah rumahku berdering nyaring. Kulihat penanggalan. Hari Sabtu. Pukul 17.15. "Komang! Telepon buatmu!" kudengar suara bariton Ayah. "Dari siapa, Yah?" "Om Pangaribuan!" Dadaku berdebar dalam perjalanan ke meja telepon. Ada apa, ya, kok tiba-tiba Om Pangaribuan menelepon, setelah berbulan-bulan tidak bertemu? "Halo, Om," aku memberi salam. "Komang, ya?" "Ya, Om. Ada apa? Komang ke rumah Om, malam ini?" "Ya, Om dan Tante Mince mau bicara denganmu. Itu saja. Om tunggu!" "Selepas salat Isya, ya, Om?" "Ya! On time! Komang makan malam di rumah Om, ya?" "Ya, Om." *** Sampai selesai makan malam, Om dan Tante tidak sedikit pun menyinggung persoalan Ruli. Mereka menanyakan, Komang akan melanjutkan ke fakultas apa dan di mana. Lalu, kami berdiskusi ihwal kampus-kampus favorit di berbagai kota besar, yang sukar dimasuki calon mahasiswa. Pukul 20.45, Tante Mince mulai menanyakan, kapan Komang terakhir bertemu Ruli. Sebenarnya, pertanyaan ini ulangan. Beberapa hari setelah Ruli pergi, meninggalkan rumah, pamit lewat selembar surat pendek, sudah Tante Mince tanyakan padaku. Jawabanku sama seperti semula. "Komang, menurut kamu, sikap Ruli itu tepat atau tidak?" Om Pangaribuan bertanya. "Bisa tepat, bisa juga tidak, Om." "Argumentasimu?" "Ruli pamit, kan mau mencari sekolah sendiri sesuai minatnya, entah di kota mana. Itu tepat. Dia pergi pun pamit, walau hanya titip surat pada pembantu di rumah ini. Itu tepat. Menurut Komang, yang tidak tepat adalah, Ruli tidak memberitahukan di mana dia, kepada siapa pun. Komang ngerti, Ruli berontak. Dia tidak suka dikekang-kekang." "Tidak ada pengekangan di rumah ini, Komang!" sela Om Pangaribuan. "Ruli salah tafsir. Dia emosional. Nggak pakai ini!" Om menunjuk jidatnya yang lebar dan mengkilat. "Komang hanya mengutip kalimat Ruli, Om. Katanya, Om dan Tante tidak suka Ruli masuk fakultas sastra Inggris, Prancis, atau Belanda." "Itu betul," sela Tante Mince. "Kami tidak ingin Ruli hidup susah. Kenyataannya, kehidupan seniman sastra di Indonesia belum layak, sekarang. Entah setengah abad nanti, setelah bangsa kita menghargai karya sastra. Komang tahu, kan? Ruli bercita-cita menjadikan pengarang sebagai profesi, saat ini. Menurut Om dan Tante, oke-oke saja, tetapi bukan sekarang. Sekali lagi, sekarang masyarkat kita hanya segelintir yang membaca karya sastra." "Om mau bilang pada Komang, kawan dekat Ruli, sebaiknya Ruli pulang dulu. Om dan Tante mau diajak kompromi, kok. Di rumah ini tidak ada harga mati." Aku terkejut. Kupandangi wajah suami-istri itu, yang baik hati padaku, dan kawan-kawanku. Om mengangguk tulus. "Kalau Komang sempat kontak dengan Ruli, mintalah padanya, pulanglah dulu," tambah 0m. Suaranya bernada memohon. "Maaf, Om... sejak pergi, Ruli tidak pernah mengontak Komang. Sungguh, Om, Tante!" Om dan Tante terkejut. Aku heran. Kesimpulanku, selama ini, mereka menduga, aku dan Ruli terus berkomunikasi, tanpa setahu mereka. "Teleponan barangkali, Komang?" desak Tante Mince. "Juga tidak, Tante!" Aku tahu, Om dan Tante kecewa. Setelah mengetahui, aku dan Ruli tidak saling kontak. Keduanya semakin panik. Ada niat mereka melapor ke polisi. Tetapi, mereka ragu. Sebab, mereka sangat mengerti, Ruli dapat menjaga diri. Lagi pula, di tiap kota besar, Ruli punya sahabat pena. Aku pun yakin, Ruli aman-aman saja. *** Setiba di rumah, pukul 21.50, Ibu mendekatiku, berbisik. Katanya, ketika aku ke rumah Om Pangaribuan, Ruli menelepon. Lalu, Ibu memberikan nomor telepon yang diucapkan Ruli. Tak buang-buang waktu, segera kutekan nomor telepon itu. Suara wanita, yang tidak kukenal. Kuminta bicara dengan Ruli, dan menyebutkan namaku. Kudengar telepon beralih tangan. Suara Ruli perlahan sekali kudengar. "Ruli, kapan kau kembali?" tanyaku. Lalu kubilang, sejam yang lalu aku bertemu dengan orang tua Ruli. Mereka sudah mau membuka pintu kompromi. Kubilang juga, sesungguhnya, Om dan Tante tidak bermaksud memaksakan kehendak. "Komang yakin, begitu keputusan mereka, setelah aku berontak?" "Yakin sekali. Tetapi, sebagai anak, aku ingin Ruli minta maaf karena pamitnya hanya lewat selembar kertas terbuka." "Sudah kulakukan, sepuluh menit yang lalu, Komang! Tapi, Ruli belum mau pulang, sebelum Komang menjemputku di rumah Ade." Ruli tertawa riang. Mungkin merasa puas, setelah dapat memberontak. "Manja nian Ruli, Sayang?" kataku. "Sekarang, aku meluncur ke rumah Ade, untuk menjemput Ruli!" "Cepat banget!" "Makin cepat makin selamat!" Tawa Ruli ngakak di seberang sana. Sebuah sandiwara telah selesai dimainkan Ruli dengan gemilang! Ya, demi membuat Komang menjemputnya, Ruli telah berbohong bahwa ia telah meminta maaf pada orang tuanya. (Villa Kalisari, 27 Januari 2004) (AnekaYess: Edisi ke-5 Tahun 2004, 28 Februari - 12 Maret 2004)